Serial Tabuk - 2
Oleh : Cahyadi Takariawan
Ketidakberangkatan dalam kegiatan dakwah, selalu menimbulkan
penderitaan bagi para aktivis. Seakan-akan memilih sikap yang enak,
dengan tidak berangkat dan tidak mengikuti kegiatan dakwah. Namun yang
didapatkan adalah perasaan menyesal dan menimbulkan penderitaan. Seperti
yang dialami oleh Ka’ab bin Malik.
“Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut ke Tabuk. Namun sungguh
aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw meninggalkan
Madinah”.
Penderitaan Berkepanjangan
Pada awalnya Ka’ab masih merasa akan mampu menyusul Nabi dan para
sahabat. Namun sampai hari berikutnya ia benar-benar tidak menyusul. Ia
absen tidak berangkat ke Tabuk, padahal belum pernah ia absen dalam
seluruh peperangan sebelumnya. Ia selalu hadir bersama Nabi dan para
sahabat dalam semua aktivitas dakwah dan jihad. Baru kali ini ia absen.
Namun apa yang dirasakannya kemudian ?
Perasaan bersalah, menyesal, terasing menyelimuti dirinya. Di semua
sudut kota Madinah, isinya hanya dua bagian manusia. Satu bagian yang
memang memiliki udzur syar’i untuk tidak berangkat ke Tabuk. Bagian
lainnya adalah orang-orang munafik yang malas berangkat ke Tabuk dan
memilih mengurus lahan perdagangan, pertanian dan keluarga. Lalu dimana
posisi dirinya ?
Ia merasa bukan dari keduanya.
Maka muncullah perasaan menderita, merasa tidak nyaman, merasa tidak
pada tempatnya, bagi kader yang tidak terlibat dalam dinamika dakwah.
Walau mencoba menenangkan diri dengan berbagai dalil dan dalih, namun
hati tidak bisa dibohongi. Berbagai alasan pembenaran diri hanya
menenangkan orang-orang yang sudah terkotori hatinya. Namun bagi para
aktivis yang selalu berusaha menjaga kebersihan jiwa, hatinya berkata
jujur tentang apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
Dari yang paling sederhana, paling kecil dan ringan dalam dakwah,
sampai yang besar dan berat. Misalnya diundang rapat tidak hadir,
padahal tidak ada alasan syar’i atas ketidakberangkatan tersebut. Tidak
berangkat dalam jalsah ilmiyah, forum tarbiyah, kegiatan mabit dan lain
sebagainya, padahal tidak ada udzur syar’i atas ketidakberangkatan itu.
Tidak hadir dalam kegiatan mukhayam tarbawi, dalam aktivitas riyadhah
jasadiyah, dan aneka kegiatan dakwah, tanpa kejelasan alasan.
Sepertinya sederhana. Toh sudah banyak yang datang rapat. Toh sudah
banyak yang hadir dalam nadwah dan tarbiyah tsaqafiyah. Toh forum
tarbiyah berjalan pekanan, sehingga masih banyak pekan lain yang akan
bisa diikuti. Lalu mencoba mencari berbagai alasan, karena murabbi tidak
simpatik, karena materi yang tidak menarik, karena forum yang tidak
dinamis, karena manajemen kegiatan yang tidak rapi, dan seterusnya.
Dikumpulkannya sejuta alasan atas ketidakberangkatan. Namun tidak akan
bisa menenangkan hati, tidak akan bisa menenteramkan hati.
Karena semua aktivis mengetahui, bahwa seharusnya dirinya berangkat.
Bahwa ketidakberangkatan adalah suatu aib yang tidak seharusnya terjadi.
Maka berbagai alasan yang dihadirkan tidak akan bisa menghibur dirinya.
Ketidakberangkatan Menimbulkan Keterkucilan
Ketika para aktivis tengah sibuk dan bergiat dalam berbagai amal
dakwah, maka ketidakhadiran akan menimbulkan perasaan keterkucilan.
“Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan
keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang
diragukan keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan
rukhshah atau ijin Allah Ta’ala untuk udzur atau kalau tidak demikian
maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa
diriku tidak termasuk keduanya”.
Ka’ab benar-benar merasa terkucil, saat Nabi dan para sahabat mulia
telah meninggalkan Madinah menuju Tabuk. Dimana posisi dirinya saat itu ?
Dimana posisiku saat kalian semua berlelah-lelah dalam lapangan
dakwah, sementara aku tersibukkan oleh pekerjaan dan urusan rumah ?
Dimana posisiku, saat kalian semua berjuang memenangkan dakwah,
sementara aku tidak punya waktu untuk itu ? Dimana posisiku, saat kalian
semua berpagi-pagi telah memenuhi panggilan dakwah, sementara aku sibuk
dengan keluargaku sendiri ? Dimana posisiku, saat kalian semua sampai
larut malam masih terus bekerja untuk kemajuan dakwah, sementara aku
disibukkan oleh urusan pribadi ?
Aku terkucil dengan sendirinya. Ketidakhadiran dalam dakwah, selalu menimbulkan perasaan keterkucilan.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di pernah menjelaskan tentang
kebaikan, ”Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah,
yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal
memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau
memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan
hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya… Barangsiapa
meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan
disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut
karenanya…”
Maka demikian pula, barangsiapa meninggalkan dakwah, maka ia akan
disibukkan dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan dakwah.
Barangsiapa tidak bersama kafilah dakwah, maka ia akan disbukkan oleh
kafilah lain yang tidak diikutinya. Ia menjadi terkucil. Barangsiapa
menyengaja tidak hadir dalam agenda dakwah, maka ia akan disibukkan oleh
agenda-agenda lain yang tidak memberikan kemanfaatan bagi dakwah.
Terkucil di jalan dakwah ? Itu karena ketidakhadiran dalam berbagai
agenda dakwah. Penderitaan dan keterkucilan adalah akibatnya. Maka
jangan pernah mencoba menyengaja membuat ketidakberangkatan dalam
kegiatan dakwah yang seharusnya kita berangkat. Jangan pernah menyengaja
menghindar dari dinamika dakwah yang semestinya kita berada di
tengahnya. Jangan pernah menyengaja menjauh dari komunitas kebaikan yang
seharusnya kita menjadi bagian utuh darinya.
Benar, jangan pernah lakukan itu.